Kamis, 02 Mei 2013



Nama kelompok:
1.      Leti siana               (G1B012016)
2.      Robiatul Adawiah (G1B012023)
3.      Nia Atiniah           (G1B012043)

STUDI KASUS BUDAYA MENGINANG
DI DESA CINDAGA KECAMATAN KEBASEN
KABUPATEN BANYUMAS

A.     LatarBelakang

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik. Kebudayaan merupakan ciri khas tersendiri bagi suatu masyarakat.
Manusia adalah mahluk yang berbudaya, karena kebudayaan merupakan pendorong di dalam tingkah laku manusia dalam hidupnya. Kebudayaan pun menyimpan nilai-nilai yang menjadi landasan pokok bagi penentu sikap terhadap dunia luar, Bahkan menjadi dasar setiap tingkah laku yang dilakukan sehubungan dengan pola hidup di masyarakat. Nilai-nilai luhur dari kebudayaan inilah yang telah di wariskan secara turun temurun  dari generasi ke generasi berikutnya melalui berbagai adat istiadat yang khusus.
Berkaitan dengan hal di atas, setiap kelompok  masyarakat pada umumnya mempunyai konsep bahwa tiap individu terbagi dalam tingkatan hidup. Tingkat demi tingkat itu akan dilalui dan akan dialami oleh individu-individu yang bersangkutan di sepanjang hidupnya, pada tiap tingkat hidup itu individu yang bersangkutan di anggap dalam kondisi dan lingkungan tertentu. Karena itu setiap peralihan dari satu tingkat ke tingkat lainnya dapat di katakan sebagai peralihan dari satu lingkungan sosial ke lingkungan sosial yang lain.
Budaya adalah hasil cipta, karya, dan karsa manusia. Budaya lahir akibat adanya interaksi dan pemikiran manusia. Manusia akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka hasilkan. Budaya manusia pun juga akan ikut berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Hal yang sama terjadi dengan budaya kesehatan yang ada di masyarakat.
Budaya Kesehatan yang terjadi dimasyarakat  salah satuya adalah budaya menginang. Pinang atau dalam bahasa Latin di sebut Areca Catechu L, sudah tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia. Kebiasaan menginang atau makan sirih sudah dikenal pada masyarakat Indonesia sejak lama. Pinang yang berasal dari Malaka (Malaysia) telah masuk ke Indonesia pada masa sebelum Masehi.  Seni mengunyah sirih atau nginang memang identik dengan budaya masyarakat jawa terkhusus Banyumas. Dalam budaya jawa tradisi nginang mempunyai makna filosofi. Pada jaman dahulu, masyarakat mendengarkan ajaran agama islam sambil mengunyah sirih, agar lebih bisa konsentrasi, selain itu bisa menjadikan tubuh sehat dan panjang umur. Menurut Soekanto Tirtomijoyo, masyarakat Indonesia mengenal kebiasaan menginang sejak abad 6 Masehi. Kebiasaan ini berkembang cukup pesat pada masyarakat desa sehingga berdampak lurus dalam kehidupan sosial, budaya, religi, dan ekonomi mereka.
Sekapur sirih atau yang lazim tiang Banyumas sebut “nginang” merupakan sebuah adat orang-orang zaman dahulu sebagai wujud hobi bagi kawula andap di waktu itu. Seperti memakan permen atau camilan pada zaman sekarang. Bahan-bahannya tentu saja tidak se-modern dan seenak permen sekarang, diantaranya adalah: daun sirih, kapulaga, cengkeh, enjet (kapur), dan buah pinang yang memberikan warna merah dalam racikannya juga dari sinilah nama tersebut berasal. Nginang dilakukan oleh orang yang suka ngemil, tetapi saat ini hanya lazim dilakukan oleh para orang tua atau tiang sepuh saja. Rasanya seperti mengunyah rumput saja yang menjadi lengket awalnya, lalu setelah beberapa lama akan timbul rasa campuran antara pedas, dan sejuk di mulut, dan menghasilkan air liur yang berwarna merah darah yang kemudian di ludahkan tanpa ditelan. Nginang  bisa dilakukan antara setengah hingga 1 jam. Bahkan ada yang bisa berjam-jam. Tergantung dari orang yang meracik, karena lamanya tergantung dari rasa pedasnya.
Sebenarnya adat nginang ini merupakan salah satu usaha untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Mengingat pada waktu itu belum ada pasta gigi modern dan sikat gigi yang praktis. Selain itu, nginang bagi kaum tempo dulu  juga biasa membersihkan gigi dengan serbuk dari batu bata merah. Tetapi menurut mereka hal ini akan lebih merusak gigi walaupun gigi terlihat lebih putih dan bersih. Dan pada kenyataannya memang serbuk dari batu bata yang merupakan tanah liat yang telah melalui pemanasan dan oksidasi dapat dengan mudah mengikis lapisan email gigi. Sehingga bagi kaum tempo dulu yang menyadari hal itu, akan memilih nginang dari pada serbuk batu bata merah. Karena kandungan sirih, rempah dan kalsium dari kapur yang diracik dari bahan-bahannya membuat orang tempo dulu yang menggemari nginang memiliki gigi yang awet dan utuh hingga lanjut usianya.
Para penari tradisional (seperti lengger atau ronggeng) jaman dahulu juga menggunakan kinang sebagai gincu (lisptik) guna memberikan warna rona merah pada bibir para pemain (penari). Nginang sudah sangat jarang sekali kita temui sekarang ini, dimana kebersihan dan kesehatan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari yang mudah kita temui alat-alatnya di super market dan mini market dekat rumah. Dapat dijumpai orang menginang dipelosok-pelosok desa atau kepasar-pasar yang tradisional di daerah Banyumas. Disana akan sering terlihat dan mendapati noda-noda merah disekitar orang yang menginang itu. Noda-noda merah itu adalah dubang (idoh abang) yaitu sisa tanda (ludah yang mengering) dari orang yang nginang. Kebiasaan lama ini masih dapat kita temui di beberapa sudut desa di Kabupaten Banyumas, hanya saja sudah semakin terlupakan di era modern sekarang ini.
Pada masyarakat desa, menginang atau makan sirih biasanya ditempatkan dalam suatu tempat yang khusus. Tempat ini biasanya disebut dengan istilah penginangan. Perlengkapan menginang seperti tempat sirih, tempat tembakau, alat penumbuk kinang, alat pemotong pinang, dan tempat ludah merah atau ludah sirih serta kinangnya ditempatkan dalam satu wadah.
Apabila orang hendak menginang biasanya disediakan kinang yang terdiri atas ramuan pokok dan ramuan pelengkap. Ramuan pokok terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih, dan buah pinang, sedangkan ramuan pelengkap terdiri dari tembakau, kapulaga, cengkih, kunyit, dan daun jeruk. Ramuan pelengkap ini biasanya tidak sama jenisnya, antara satu orang dengan orang yang lain, ada pula yang menggunakan kinang secara lengkap, tetapi ada juga yang menggunakan sebagian saja, bahkan tidak menggunakan pelengkap sama sekali. Ramuan yang akan digunakan untuk menginang biasanya dilumatkan dengan dikunyah, tetapi jika gigi tidak ada lagi biasanya ditumbuk. Kinang ini dinikmati dengan mengunyah dan memutar-mutarnya di dalam mulut selama beberapa waktu atau langsung digosok dengan tembakau.
Tembakau yang digunakan untuk membersihkan mulut tidak langsung dibuang, tetapi diputar-putar di dalam mulut dan setelah aromanya hilang baru dibuang, sedangkan tembakau biasanya oleh orang yang menginang diselipkan di sebelah pipi atau antara gigi dan bibir. Kebiasaan makan sirih ini bagi para pecandu memerlukan bahan, waktu, dan perhatian yang besar. Kebiasaan menginang atau mengunyah sirih, mempunyai efek buruk yang sangat merugikan. Hal itu dikarenakan campuran tembakau yang ikut dikunyah bersama sirih. Padahal bahan lainnya seperti sirih dan injet relative aman untuk kesehatan gigi.
Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih dalam mengenai budaya menginang perlu dilakukan kajian serta wawancara terhadap narasumber yang bertempat tinggal di Desa Cindaga Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas. Dalam makalah  Studi Kasus Budaya Menginang di Desa Cindaga Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas” ini, akan dibahas alasan yang pasti mengapa orang tua atau tiang sepuh sering mengunyah pinang atau menginang dan dampak yang ditimbulkan akibat terlalu seringnya mengunyah pinang atau menginang.

B.     Rumusan Masalah

1.      Mengapa orang tua atau tiyang sepuh sering mengunyah pinang atau menginang?
2.      Apakah dampak akibat terlalu seringnya mengunyah pinang atau menginang?

C.     Tujuan

1.      Mengapa orang tua atau tiyang sepuh di desa Cindaga sering mengunyah pinang atau menginang?
2.      Apakah dampak akibat terlalu seringnya mengunyah pinang atau menginang?



D.    Pembahasan
D.1 Alasan orang tua atau tiyang sepuh di desa Cindaga sering mengunyah pinang atau menginang
Kebiasaan menginang atau makan sirih sudah dikenal pada masyarakat Indonesia sejak lama. Pinang yang berasal dari Malaka (Malaysia) telah masuk ke Indonesia pada masa sebelum Masehi.  Seni mengunyah sirih atau nginang memang identik dengan budaya masyarakat jawa. Dalam budaya jawa tradisi nginang mempunyai makna filosofi tersendiri. Pada jaman dahulu, masyarakat mendengarkan ajaran agama islam sambil mengunyah sirih, agar lebih bisa konsentrasi, selain itu bisa menjadikan tubuh sehat dan panjang umur. Desa Cindaga Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas ini, memang masih banyak terdapat orang tua atau tiyang sepuh yang mengunyah pinang atau nginang.
            Hasil Wawancara yang dilakukan dengan 3 orang narasumber yang berasal dari masyarakat Desa Cindaga yang memiliki kebiasaan mengunyah pinang atau menginang adalah sebagai berikut:
1.      Mbah Bungkring
Alamat : Desa Cindaga RT 01 RW 10 Kec. Kebasen Kab. Banyumas.
Menurut mbah Bungkring “aku nginang amarga aku sampun mboten udud, mbiyen aku udude ya santer sanget. Kangge nyegah ngudud maleh utawa aku udud kemawon, dadine aku gantos dados nginang. Nginang nyebabaken untune aku kuwi kuat teras sliraku awet enem. Dampake ya sak ngertosipun aku nggih niki, untune kulo sami abrit alias abang warnanipun malah kadang wonten ireng-irenge”.

2.      Mbah Adem
Alamat : Desa Cindaga RT 02 RW 10 Kec. Kebasen Kab. Banyumas.
Menurut Mbah Adem “Aku nginang sebabe ya kuwe, go ngunyah-ngunyah dadi kena go ngisi wektu, terus nek lagi nyambut gawe disambi nginang kuwe dadi tambah kuat ora loyo, terus awake dadi seger dadi kaya nambah semangat ngonoh lo. Aku sedina bisa nginang ping 8, soale nek ora nginang kuwe angel. Nginang juga nggawe untuku kuat, bisa kanggo maem rempeyek. Beda karo kancaku sing seumuranku, ger untune pada kanggo maem rempeyek kuwe gampang petil. Delengana untuku sing tesih wutuh lan kuat-kuat”.

3.      Mbah Ginah
Alamat : Desa Cindaga RT 02 RW 10 Kec. Kebasen Kab. Banyumas.
Menurut mbah Ginah “ Ya, menurut saya nginang itu membuat gigiku kuat, nek wayah tandur (menanam padi), aku lewih kuat ngguli tandur. Ger kerja nyambi ngunyah-ngunyah kan enak. Ger ora kerja, aku biasane nginang sedina paling ping 4 tapi ger kerja bisa ping 8 apa ping 9, terus gara-gara aku sering nginang,lambene aku maen dadi abang, cangkemku dadi wangi, keringetku uga dadi wangi”.
Berdasarkan hasil wawancara, alasan orang tua atau tiyang sepuh di Desa Cindaga melakukan budaya mengunyah pinang atau menginang yaitu:
1.      Pengganti Kebiasaan merokok.
Menginang sama halnya dengan kebiasaan minum teh, kopi, dan merokok. Pada mulanya setiap orang yang menginang tidak lain untuk penyedap mulut. Kebiasaan ini kemudian berlanjut menjadi kesenangan dan terasa nikmat sehingga sulit untuk dilepaskan. Kebiasaan menginang di samping untuk kenikmatan juga berfungsi sebagai obat untuk merawat gigi, terutama untuk menjaga agar gigi tidak rusak atau berlubang.
Menginang ini merupakan strategi utama orang tua atau tiyang sepuh jaman dahulu hingga tiyang sepuh jaman sekarang untuk menghindari merokok. Oleh karena itu, kebiasaan menginang untuk menghindari rokok menjadikan menginang menjadi budaya tetap dari Banyumas. Dan melekat dengan masyarakat Banyumas dengan budaya nginangnya.
2.      Mencegah Bau Mulut.
Beberapa campuran saat mengunyah daun sirih yaitu gambir dan daun sirih dikenal sebagai antiseptik alami. Antiseptik alami ini baik untuk kesehatan rongga mulut. Rutin mengunyah daun sirih dapat mencegah bau mulut. Sehingga orang lain nyaman ketika berbicara dengan tiyang sepuh tersebut.
3.      Mengobati Sariawan.
Mengunyah langsung daun sirih berguna untuk mematikan Candida albicans di mulut atau sariawan. Dengan menginang daun sirih akan terkenakan langsung di tempat sariawanya. Dan rasa perihnya akan benar-benar menyengat dan lambat laun terasa nikmat. Sesaat kemudian, pada area sekitar sariawan itu akan  terasa bebal dan tebal serta sariawan pada bibir akan mulai lemas sehingga tidak sakit lagi. Pada hari berikutnya sariawan itu akan mulai mengecil lalu menghilang.
4.      Membantu Menguatkan Gigi dan Tulang.
Endapan kapur yang biasanya di kunyah bersama dengan daun sirih juga memiliki kandungan kalsium yang cukup tinggi. Kapur atau Enjet ini bisa membantu menguatkan gigi dan tulang.
5.      Mempercantik diri bagi wanita.
Bagi wanita, menginang akan mempercantik diri. Karena setelah menginang, bibir akan secara alami berwarna merah tanpa menggunakan lipstik. Dan ini menjadikan seorang wanita terlihat lebih cantik karena dari bibirnya akan terus memancarkan warna merah.
6.      Memiliki rasa yang nikmat.
Reaksi yang terjadi saat dilakukan pencampuran daun sirih, enjet, dan cemilan kecil gambir saat di kunyah bersama-sama akan memunculkan warna yang menjadi merah. Setelah beberapa saat akan disambung dengan gumpalan tembakau rajangan untuk membersihkan gigi dan bibir serta dihisap-hisap.
Hal yang dilakukan ini menurut narasumber menimbulkan munculnya rasa yang nikmat. Para penikmat setia nginang menganggap bahwa menginang itu memberikan sensasi tersendiri di dalam mulut mereka yang memberikan kenyamanan di dalam diri penginang.
7.      Badan menjadi segar.
Bagi orang yang sering mengunyah pinang atau menginang, akan merasakan badan yang segar. Lain halnya ketika mereka tidak menginang, mereka akan merasakan suatu kesegaran dari badannya yang berkurang.
Selain itu, budaya mengunyah pinang atau menginang memicu timbul dan munculnya kepercayaan apabila mereka tidak mengunyah pinang atau menginang maka badannya menjadi tidak segar dan menjadi lemas.
8.      Keringat tidak bau.
Daun sirih yang digunakan saat mengunyah pinang atau menginang ini, menyebabkan orang yang menginang akan mengeluarkan keringat yang tidak bau. Daun siris ini, memiliki kandungan antiseptik alami yang dapat memicu bercampurnya kandungan dari daun sirih dengan tubuh sehingga dapat mengeluarkan aroma khas yang harum dari tubuh seorang penginang(orang yang menginang).
Apabila seseorang hendak mengunyah pinang atau menginang, biasanya disediakan kinang yang terdiri atas ramuan pokok dan ramuan pelengkap. Ramuan pokok terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih, dan buah pinang, sedangkan ramuan pelengkap terdiri dari tembakau, kapulaga, cengkih, kunyit, dan daun jeruk.
Bahanbahan utama yang digunakan untuk menginang yaitu:
a.       Daun sirih
Sirih merupakan tanaman yang tumbuh menjalar dan merambat pada batang pohon di sekelilingnya.Tinggi tanaman sirih bisa mencapai15 m, tergantung pada kesuburan media tanam dan media untuk merambat. Batang tanaman ini berwarna cokelat kehijauan, berbentuk bulat, berkerut, dan beruas yang merupakan tempat keluarnya akar. Sirih hidup subur dengan ditanam di daerah tropis dengan ketinggian 300-1000m di atas permukaan laut terutama di tanah yang banyak mengandung bahan organik dan air.
b.      Gambir/Uncaria Gambir 
Gambir atau Uncaria Gambir merupakan salah satu hasil hutan yang sudah sejak lama dikenal dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Masyarakat luas memanfaatkan gambir sebagai bahan penyamak kulit untuk mencegah pembusukan, membuat kulit lebih lembut, berwarna, tidak kaku dan awet. Selain digunakan sebagai obat sakit perut, bisul, dan tenggorokan. Penggunaan gambir yang umum dikenal dalam makan sirih sebagai campuran bahan untuk penambah rasa nikmat. Pada saat dimakan terasa pahit tetapi kemudian terasa manis dan dapat menyehatkan gigi, gusi dan tenggorokan.
c.       Pinang
Pinang merupakan tumbuhan palma family Arecaceae, komponen utama dari biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoid dan tanin, alkaloid, dan mineral Polyphenol dan alkaloid dari golongan piridin mendapat perhatian lebih dari sekian banyak kandungan kimia yang terdapat dalam pinang, dikarenakan zat-zat tersebut diketahui memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan .
d.      Kapur
Kapur berasal dari karang laut atau cangkang kerang yang  dibakar berwarna putih. Pembakaran cangkang kerang yang berupa debu harus dicampur terlebih dahulu dengan air pada saat akan dicampur dengan daun sirih untuk menginang.
e.       Tembakau
Tembakau merupakan tumbuhan semusim yang ditanam untuk diambil daunnya. Tumbuhan ini termasuk dalam family Solanaceae. Tumbuhan ini dikatakan berasal  dari utara dan selatan Amerika, Australia, barat daya Afrika, dan bagian utara Pasifik. Kandungan utama yang terdapat dalam tembakau adalah nicotine. Nikotin merupakan komponen penting dalam tembakau karena sifatnya yang menimbulkan ketagihan atau adiksi.

D.2 Dampak akibat terlalu seringnya mengunyah pinang atau menginang.
Kebiasaan Nginang atau nyirih masih banyak dilakukan khususnya pada generasi tua, persepsi yang timbul dari kebiasaan nginang adalah gigi menjadi awet, tidak rusak, tetap bertahan sampai tua. Kenyataan memang demikian karena banyak orang yang biasa menginang memiliki gigi yang masih bagus sampai usia tua. Namun, tanpa mereka sadari ternyata mengunyah pinang atau nginang ini memiliki beberapa akibat. Akibat yang ditimbulkan dari kebiasaan mengunyah pinang atau nginang diantaranya:
1.      Mengurangi kesehatan rongga mulut.
Kebiasaan menginang yang tidak diimbangi dengan menjaga kebersihan rongga mulut seperti berkumur atau menggosok gigi setelah menginang dapat menyebabkan kesehatan rongga gigi menurun. Apabila kebiasaan kurang baik tersebut dilakukan secara terus menerus maka dapat menyebabkan adanya karang gigi. Karang gigi muncul karena adanya sisa kotoran menginang.
Ramuan khusus untuk menginang atau  nyirih terdiri dari : Daun Sirih, Gambir, Buah Pinang, Tembakau dan Kapur. Gigi akan menjadi aus dan berwarna kemerahan. Resesi gusi dan iritasi pada mukosa mulut atau leukoplak dapat terjadi akibat tekanan tembakau. Penumpukan kalkulus atau karang gigi dapat pula terjadi karena adanya unsur kapur didalam ramuan sirih yang menyebabkan suasana basa di dalam mulut. Silikat yang terdapat di dalam daun tembakau dan pengunyahan dalam waktu lama berangsur-angsur akan mengikis elemen gigi sampai ke gingiva. Elemen-elemen ini berubah warna menjadi cokelat. Proses pengikisan gigi tidak terasa sakit karena proses pengikisan berjalan lambat dan terus-menerus.
2.      Mencemari lingkungan.
Ketika menginang produksi air liur atau dubang (idoh abang) yaitu sisa tanda (ludah yang mengering) dari orang yang mengunyah pinang atau nginang di dalam mulut akan selalu bertambah karena adanya rangsangan. Sedangkan orang tua atau tiyang sepuh, kebanyakan kurang memiliki kesadaran untuk berludah pada tempat yang telah disediakan. Mereka berludah disembarang tempat dimana mereka berada. Hal tersebut dapat mengganggu lingkungan disekitar orang tua atau tiyang sepuh tersebut. Mereka cenderung jijik dengan perilaku dari tiyang sepuh tersebut karena ludahnya yang berwarna merah akibat bahan inang yang mengganggu pemandangan orang lain sehingga terkesan jorok dan menjijikan karena biasanya dihinggapi lalat.
3.      Menambah jumlah pengeluaran.
Orang yang menginang harus menyisihkan sebagian dari uangnya untuk membeli bahan-bahan untuk menginang. Sedangkan bahan tersebut di era modern ini semakin sulit untuk ditemukan sehingga memiliki nilai jual yang tinggi,apabila ingin menghemat maka orang tua atau tiyang sepuh tersebut harus menanam sendiri bahan tersebut seperti mbako, daun sirih, dll.
4.      Menimbulkan efek kecanduan.
Kebanyakan orang tua mengunyah pinang atau menginang setiap hari. Sehingga, menjadi sebuah kebiasaan yang apabila tidak dilakukan orang tua tersebut akan merasa aneh. Menginang ini menjadi kebiasaan yang mengakar.

E.     Kesimpulan dan Saran

E.1 Kesimpulan.
Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan:
1.      Orang tua atau tiyang sepuh di Desa Cindaga memiliki budaya nginang karena memiliki alasan-alasan seperti mengganti kebiasaan merokok, mencegah bau mulut, mengobati sariawan, membantu menguatkan gigi dan tulang, mempercantik diri bagi kaum wanita(bibir menjadi merah), memiliki rasa yang nikmat, badan jadi segar, dan keringat tidak bau.
2.      Dampak orang tua atau tiyang sepuh yang memiliki budaya nginang yaitu: mengurangi kesehatan rongga mulut, mencemari lingkungan, menambah jumlah pengeluaran, menimbulkan efek kecanduan.

E.2 Saran bagi orang tua atau tiyang sepuh di desa Cindaga
1. Tiyang sepuh diharapkan ketika sedang nginang, air ludahnya atau dubang (idoh abang) tidak diludahkan sembarangan, tetapi harus pada tempatnya. Sehingga, tetap menjaga kebersihan dan setelah menginang diharapkan menggosok gigi atau sekedar berkumur sepaya tidak tertinggal kotoran di dalam rongga mulut sehingga dapat mengurangi ganguan kesehatan rongga mulut.
2. Tiyang sepuh diharapkan tidak  menginang secara berlebihan. Oleh karena itu diperlukan tekad yang kuat untuk tidak menginang secara berlebihan, dan meminta pertolongan Alloh agar terhindar dari hawa nafsu untuk menginang yang berlebihan, serta mendapat dukungan dari orang-orang disekelilingnya untuk mengurangi mengunyah pinang atau menginang.

0 komentar:

Posting Komentar